Pengharapan (1)

     Sore itu, semerbak aroma bunga yang takkan pernah terlupakan dihari itu. Seburat kapas di angkasa menghiasi setiap jengkal kehidupan yang fana. Pemandangan alam yang terbentang luas bak permadani. Tatkala senja memasuki singgasananya, perlahan bayang-bayang pun pudar. Mentari perlahan mengundurkan diri untuk menghiasi waktu itu. Berganti rembulan di ufuk timur yang perlahan muncul bersamaan dengan para gemintang. Akhir kisah yang mengesankan diakhir perjalanan waktu. Hanya saja, cukup sekali dan masalalu takkan pernah terulang kembali.

    "Mama, kenapa sih? Kok sering masuk rumah sakit sampai menginap, sakit apa? Kan aku bisa menjaga mama di rumah" tanya seorang anak kecil yang berusia 5 tahun kepada sang ayah.

    "Mama hanya butuh istirahat di rumah sakit, hanya dokter yang bisa merawatnya" jawab ayahnya dengan nada pelan. Seakan keputusasaan ada didepan matanya, namun berusaha untuk tegar dalam menjawab setiap pertanyaan anaknya mengenai sosok yang sangat dicintainya.

    "Hiks, aku mau ketemu mama!" tangis anak kecil itu di koridor ruangan tempat mamanya diopname.

    "Jangan sekarang ya, mama masih tidur. Ayo kita pulang ke rumah" ajak ayahnya.

    Anak kecil itu masih meronta-ronta sampai akhirnya bisa terdiam karena ayahnya akan memberikan hadiah es krim jika diam. Langkah kecil itu mengikuti langkah orang dewasa disampingnya. Bergandengan tangan dengan erat, seakan berkata masih ada hari esok kelak untuk terus bertemu. Namun, hanya waktu yang dapat menjawab semua pertanyaan hebat itu. Pertanyaan yang memerlukan jawaban dari kepingan puzzle kehidupan. 

    Hari ini tepat di tanggal 10 Agustus 2006, anak itu telah beranjak remaja. Sosok yang ambisius dengan segala bidang perakademikan maupun pramuka. Entah kenapa, anak itu menyukai pramuka yang berkebalikan dengan sahabtanya bahkan justru membenci tujuh kata itu. Namun, perbedaan itulah yang membawanya menemui segenggam harapan atas pertanyaan hidupnya. Jawaban misterius yang berharga untuk mengetahui sela-sela kehidupan yang misterius. Biar kukatakan padamu, anak itu bernama Shima. Yah, kurasa jika kau memanggil namanya di sekolah dimana ia berada, orang-orang akan langsung mengenali sosok ambisiusnya yang pernah menjuarai olimpiade matematika di tingkat nasional bahkan internasional, namun karena terkendala biaya sehingga ia tidak jadi pergi ke Korea Selatan. 

    "Shima, tolong ajarin aku persamaan ini dong, duh aku ga paham sama sekali", sahut sahabatnya Mitsu.

    Shima pun menjelaskan dengan detail dengan bahasa yang mudah dipahami oleh Mitsu sehingga dengan cepat Mitsu pun memahami apa yang telah diajarkan. Diluar itu, ada sesosok orang yang mengamati kejadian itu dan berlari menjauh sambil melaporkan sesuatu dengan ponselnya. Mitsu adalah sosok sahabatnya yang peka terhadap situasi merasakan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman. Entah ada suatu hal yang membuatnya merasa marah dan sedih yang bercampur aduk menjadi satu namun belum menemukan jawaban dari pertanyaa itu sehingga ia hanya diam, menyembunyikan rasa ketakutannya.

    "Alhamdulillah, bel pulang pun berbunyi. Ayok Mitsu, kita nunggu di gedung bawah aja", ajak Shima.

    "Oke, tunggu sebentar ya. Aku masih merapikan buku nih. Ajak aja sekalian si Zuhra dan Ilmi, oh iya aku lagi pengen main nih. Gimana hari minggu kita ke kedai es krim yang ada di seberang Jalan Pramuka? Kayanya enak sih, soalnya rame banget disana", ajak Mitsu.

    "Aku setuju aja sih, lagian juga ga ada agenda juga. Agenda kemah juga masih minggu depan kan? Aku ga sabar banget, hehe. Oh ya nanti coba aku tanya dulu deh ke yang lainnya, mereka mau join apa ga", jawab Shima bersemangat. Dia paling suka dengan es krim, kalau bisa dia tidak segan untuk membeli kedai beserta seluruh es krimnya.

    Shima pun berbalik, mendatangi sahabatnya yang lain. "Guys, kalian minggu ada agenda ga? Makan es krim yuk di Jalan Pramuka. Kedai yang viral ituu".

    "Ayuk, aku sih acc aja,". "Iya aku jugaa free  kok, atur aja", jawab Zuhra dan Ilmi hampir bersamaan.

    "Oke, aku ajak juga deh si Anisah. Seepertinya dia juga gabut banget deh. Lagian biasanya, dia dan aku ngerusuh di timeline sosmed", kataku.

    Akhirnya Shima pun mendatangi kelas Anisah dan tanpa bertele-tele Anisa pun langsung menyetujui rencana tersebut. Setelah tertunda untuk pergi ke gedung bawah, akhirnya terlaksana juga untuk menunggu jemputan. Waktu  demi waktu pun berjalan, satu persatu siswa dan siswi pun sudah dijemput. Menyisakan Shima dan Mitsu yang sedari tadi berkutat dengan ponselnya. Entah apa yang dilakukannya sampai dia asyik sendiri. Shima pun memandang langit, seperti biasa saat melihat senja kala itu. Langit pun perlahan berubah menjadi gradasi warna yang sangat menakjubkan. Suara murattal pun perlahan mulai terdengar. 

    TIN TIN!!! Suara mobil memecahkan keheningan. Mobil putih yang besar dan itu bukan mobil Shima. Shima pun menghela napas panjang dan melambaikan tangan kepada Mitsu yang bergegas menuju jemputannya. Sekolah itu lenggang, hanya menyisakan Shima. Suara burung-burung pun semakin terdengar nyaring, terlalu sepi sampai membuat suara hewan tersebut terdengar jelas. Semburat senja yang membawanya kembali ke masa itu. Masa dimana ketika ia mulai tidak menerima yang namanya kehidupan. Mulai tidak menerima pengharapan dari seseorang, masa dimana rasa percayanya hilang tanpa jejak. Sepertinya ayah lupa untuk menjemputnya kali ini, sudah seperti biasa. Ia pun berjalan seorang diri menuju apartemennya yang berjarak 10 km dari sekolahnya. Perjalanan yang cukup jauh untuk seorang anak kecil tempuh, itupun merupakan pilihan terbaik daripada ia terlantar di sekolah. Shima tidak memiliki ponsel seperti sahabt-sahabatnya, setidaknya ia masih punya laptop usang milik sepupunya yang sudah tidak terpakai.

    Ah, jalanan pun seperti biasa. Ricuh diterpa bunyi klakson yang tiada henti, pengemudi mobil yang memarahi pengemudi motor yang baru saja hampir membuatnya kecelakaan dan beberapa orang lainnya yang membantu melerai. Hiruk pihuk perkotaan yang membuat Shima menjadi ingin kembali ke rumah neneknya. Hanya seberkas rindu dari keributan di kota. Shima pun berhenti di suatu toko untuk membeli minum. Tak sengaja, mata berpapasan dengan mata. Shima kaget dan hampir menjatuhkan botol minuman yang baru ia bayar. Sosok yang membuatnya kembali. Kembali ke masa dimana hakikat kehidupan hilang karenanya ............

Komentar

HeyHello mengatakan…
Udah hampir nangis, tapi ga jadi gara2 ga suka pramuka