Pagi itu, hujan mengguyur bumi cukup deras. Memberikan kesejukan di pagi buta untuk melaksanakan shalat subuh. Tampak orang-orang berlalu menuju masjid dengan membawa payung. Wajah mereka berseri saat ingin berkomunikasi dengan Allah, sebagian yang lain masih terlihat mengantuk dan menguap. Aku pun melakukan hal yang sama, wudhu dan pergi menuju masjid yang tak jauh dari rumah.
"Asyhadu ala illaha illallah", saat mendengarnya entah mengapa hatiku terasa begitu damai. Seakan mengatakan bahwa Islam adalah agama rahmatal lil alamiin. Tapi memang benar adanya, hanya saja sebagian orang di muka bumi ini enggan untuk mengakuinya. Tak luput dari kecaman saat umat muslim mendunia di berbagai benua. Aku telah tiba di masjid dan melaksanakan sholat rawatib sebelum subuh. Menjadi hal paling utama dalam hidup untuk melaksanakannnya karena keutamaannya yang begitu besar dalam hadis. Seseorang di seberang sana tengah khusyuk melakukan sujudnya, begitu dalam dan hanyut dalam kecintaannya dengan Sang Maha Kuasa. Iqomah pun berkumandang ...
"Nop, kamu kalau habis lulus mau ngapain?", tanya Dhira padaku usai sholat subuh.
Tampak sekitar sibuk bersalaman dan melambaikan tangan, ataupun megobrol sejenak dengan tetangga yang berbeda RT. Aku pun begitu, mengobrol dengan Dhira, tetanggaku sambil menuju ke rumah maisng-masing. Lagian rumah kami searah dan hanya berjarak 2 rumah. Aku berkata kalau aku akan pergi melanjutkan S2 di luar negeri atau mencari pekerjaan untuk menunjang kehidupanku. Toh, mencari pekerjaan juga bukan hal yang gampang dan perlu persiapan dengan matang.
"Jujur aku bingung dihadapkan masalah ini," katanya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku hidup dalam orientasi dunia. sedangkan adekku masih berusaha untuk mempertahankan hidupnya dalam orientasi akhirat," ujarnya.
Aku sedikit menimbang arti, apa maksudnya? Kenapa dia bisa berbicara seperti itu? Oh iya, adeknya kan sekolah di pondok pesantren, wajar kan kalau dia memang orientasi ke arah akhirat. Terus kenapa harus berkata kalau ini adalah masalah?. Dia menatapku, mengetahui maksud pikiranku dari ekspresiku yang tampak kebingungan.
" Mau singgah di rumahku sebentar? Kamu tidak ada agenda kan pagi ini?" tanyanya.
Aku menggeleng. Hujan sudah reda sejak shalat tadi dan kini jalanan cukup becek sehingga kami pun sibuk ria dalam pikiran masing-masing ditambah harus menghindari beceknya jalanan. Aku masih menerka-nerka, apa maksudnya?
"Assalamu'alaikum,"
Aku pun duduk di sofa ruang tamu sembari menunggu Dhira untuk merapikan mukenanya ke kamarnya. Masih penuh tanda tanya di dalam pikiranku mengenai penyataannya tadi. Dhira mulai terlihat kembali menuju ruang tamu. Tampak anggun dengan setelan piyamanya yang berwarna pink berbalut jilbab yang senada lantas duduk sambil membawakan jajanan yang ia punya.
" Silahkan dimakan." katanya.
Aku pun tidak sungkan. Lantas langusng mencomot jajanannya yang begitu menggoda didepan mataku. Sambil makan aku pun asyik mendengarkan curhatannya. Perjalanan kisah antara dirinya dengan keluarganya. Dia memiliki 2 saudara laki-laki dan adeknya lah harapan satu-satunya bagi kedua orang tuanya.
"Dunia ini keras, kalau kamu mau berusaha di jalan kebaikan maka kamu harus memiliki lingkungan yang mendukungmu dalam berbuat hal tersebut," jelasnya.
"Ini sama dengan pertanyaanku yang tadi, kalau mau lulus bakal ngapain selanjutnya? Aku sudah berpikir untuk melanjutkan perjalananku ke dunia karir, Nop. Aku pengen punya tabungan 12 digit. Tapi ketika adekku berkata bahwa dia sebenarnya keberatan untuk mempertahankan hafalannya. Seolah dia merasa sendiri didalam keluargaku untuk terus berjuang memberikan mahkota dan jubah emas ke orang tuaku. Sedangkan aku dan masku sudahlah jauh dari orientasi akhirat. Kita hanya mementingkan dunia dan berlari untuk mengejarnya ketimbang harus dekat dengan Al-Qur'an," ujarnya sambil menangis.
Aku pun berdiam, mengintropeksi diri bahwasanyya aku juga sama sepertinya. Tidak pantas rasanya untukku memberikan solusi atas dirinya karena realita diriku yang juga sama kejinya untuk mengejar orientasi dunia. Aku pun meresponnya dengan beberapa kata yang mungkin akan membuatnya bangkit sejenak dari pikirannya dan merekomendasikan seseorang untuk dia bagi, siapatau akan mendapatkan pencerahan dari orang tersebut.
"Terimakasih Nop," ujarnya ditengah sesenggukan. Berusaha tersenyum dan melambaikan tangannya padaku ketika aku akan kembali ke rumah. Selama iitu pula, aku berpikir kemana aku akan pergi? Kemana aku akan mengalir sepenuhnya? Retorika dunia yan naif dan fana kah atau akhirat yang kekal?
Komentar